Pemikiran Ibn Sina tentang Filsafat
Filsafat Ketuhanan
Ibn Sina dalam membuktikan adanya Tuhan dengan dalil
wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd mengesankan duplikat al-Farabi. Sepertinya
tidak ada tambahan sama sekali. Akan tetap, dalam filsafat wujudnya, bahwa
segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan di pandang memiliki daya kreasi
tersendiri sebagai berikut.
Wâjib al-wujûd, esensi yang tidak dapat tidak mesti
mempunyai wujud. Di sini tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama
dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia
wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.[10]
Lebih jauh Ibn Sina membagi wâjib al-wujûd kedalam wâjib
al-wujûd bi dzâtihi dan wâjib al-wujûd bi ghairihi. Kategori yang pertama
adalah yang wujudnya dengan sebab zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak
ada. Kategori yang kedua adalah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya
sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk pada yang
pertama (wâjib al-wujûd li dzâtihi lâ li sya’in akhar).
Mumkin al-wujûd, esensi yang boleh mempunyai wujud dan
boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada
atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak
ada.
Mumkin al-wujûd ini jika dilihat dari segi esensinya,
tidak mesti ada karenanya ia disebut dengan mumkin al-wujûd bi dzatihi. Ia pun
dapat pula di lihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin al-wujûd bi
dzâtihi dan mumkin al-wujûd bi ghairihi. Jenis mumkin mencakup semua yang ada,
selain Allah.
Mumtani’ al-wujûd, esensi yang tidak dapat mempunyai
wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping yang ada.
Ibn Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu
mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dengan dalil adanya
wujud Pertama, yakni wâjib al-wujûd. Jagad raya ini mumkin al-wujûd yang
memerlukan suatu sebab (‘illat) yang mengeluarkannya menjadi wujudnya tidak
dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah)
kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa
memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Meskipun makhluk
itu bisa menjadi bukti wujud-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas, lebih
kuat, lebih lengkap, dan sempurna. Kedua macam pembuktian tersebut telah
digambarkan dalam al-qur’an dalam surat al-Fushshilat: 53 sebagai berikut:
Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka
tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka
sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah
cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu.[11]
Ibn Sina dalam menetapkan adanya Allah mengemukakan dalil
ontologi yang sebelumnya telah dikemukakan al-Farabi. Sementara itu, ahli kalam
biasanya mengemukakan dalil kosmologi dengan berpijak pada konsep alam baharu.
Namun, dalil yang disebut terakhir ini sekalipun tidak memuaskan para filosof
muslim, tetapi menurut Ibn Sina sangat cocok bagi orang awam.
Tentang sifat-sifat Allah, Ibn Sina menyucikan Allah dari
sifat segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan
Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat
Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas
(ta’addud al-qudamâ).[12]
Filsafat Wahyu dan Nabi
Dalam filsafatnya tentang wahyu dan Nabi, Ibn Sina
menjelaskan bahwa akal manusia yang telah mencapai derajat akal perolehan dapat
mengadakan hubungan dengan Jibril.
Menurut Ibn Sina Nabi dan filosof menerima kebenaran dari
sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut akal kesepuluh atau
akal aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya, bagi Nabi
hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads
(kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui akal mustafad. Nabi
menerima akal materiil yang dayanya lebih kuat dari pada akal mustafad sebagai
anugerah Tuhan kepada orang pilihan-Nya. Sementara filosof memperoleh akal
mustafad yang dayanya jauh lebih rendah daripada akal materiil melalui latihan
berat. Pengetahuan yang diperoleh Nabi disebut wahyu, sedangkan pengetahuan
yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi diantara keduanya
tidaklah bertentangan.[13]
Komunikasi itu bisa terjadi karena akal perolehan telah
begitu terlatih dan begitu kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap
hal-hal yang abstrak murni, akan tetapi komunikasi antara Nabi dan Tuhan
dilakukan melalui akal dalam derajat materiil. Seorang Nabi menurut pendapatnya,
dianugerahi Tuhan dengan akal materil yang meskipun lebih rendah derajatnya
dari akal perolehan namun mempunyai daya tangkap yang luar biasa sehingga tanpa
latihan ia dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Jibril.[14]
Filsafat Emanasi
Filsafat emanasi ini bukan hasil dari renungan Ibn Sina
tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini terjadi
karena pancaran dari Yang Esa. Kemudian filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa
“dari yang satu hanya satu yang melimpah”. Ini diislamkan oleh Ibn Sina bahwa
Allah menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam
al-Qur’an tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari
materi yang sudah ada atau dari tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibn
Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu dapat
dikatakan yang Esa menurut Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser
menjadi Allah pencipta yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah
ada secara pancaran.[15]
Adapun proses terjadinya pancaran itu tersebut adalah
ketika Allah Wujud (bukan dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan
(ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi pemikirannya, maka memancarlah
akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah akal kedua, jiwa pertama dan
langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah
dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan
jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama, yang menjadi dasar bagi keempat unsur
pokok : air, udara, api, dan tanah.[16]
Bagi Ibn Sina, akal pertama mempunyai dua sifat: sifat
wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika di
tinjau dari hakikat darinya. Dengan demikian, Ibn Sina membagi objek-objek pemikiran
akal-akal menjadi tiga: Allah (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal
(wajib al-wujud li ghairihi), sebagai pancaran dari Allah dan dirinya akal-akal
(mumkin al-wujud).
Akal-akal dan planet-planet dalam emanai dipancarkan
(diciptakan) Allah secara hirarki keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqqul
Allah tentang zatnya sebagai sumber energi yang maha dahsyat. Ta’aqqul Allah
tentang zatnya adalah ilmu tentang dirinya dan ilmu adalah daya (al-qudrat)
yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu diciptakan, cukup sesuatu itu
diketahui oleh Allah. Dari hasil ta’aqul Allah terhadap zatnya (energi) itulah
diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan lainnya memadat menjadi
planet-planet.[17]
Emanasi Ibn Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan
sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Bagi Ibn Sina masing-masing
jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak bisa
langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah malaikat.
Akal pertama adalah malaikat dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang
bertugas mengatur bumi dan segala isinya.
Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini qadim karena
diciptakan oleh Allah sejak qidam dan azali. Akan tetapi, tentu saja Ibn Sina
membedakan antara qadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar terletak
pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman,
maka alam qadim dari zaman Adapun dari segi esensi sebagai hasil ciptaan Allah
secara pancaran alam ini baru (huduus zaaty). Sementara Allah adalah taqaddum
zaaty. Ia sebab semua yang ada, Ia pencipta alam.
Filsafat Jiwa
Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibn Sina
terletak pada filsafat jiwa. Kata jiwa di dalam al-Qur’an dan hadits
diistilahkan dengan al-nafs atau al-ruh sebagaimana terekam dalam QS. Shad:
71-72.
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي
خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ .فَإِذَا سَوَّ يْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوْحِي فَقَعُوا
لَهُ سَاجِدِينَ.
Terjemahannya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada
malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari
tanah". Maka apabila Telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka
hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".(QS. Shaad 38:
71-72)[18]
Jiwa manusia sebagaimana jiwa-jiwa yang lain dan segala
yang terdapat di bawah rembulan memancar dari akal sepuluh. Secara garis besar
pembahasan Ibn Sina tentang jiwa terbagi pada dua bagian berikut.[19]
Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan,
dan manusia:
Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya; makan, tumbuh,
dan berkembang. Jadi, jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan,
tumbuh, dan berkembang.
Jiwa hewan mempunyai dua daya; bergerak dan menangkap.
Daya terakhir ini mempunyai dua bagian:
Menangkap dari luar dengan pancaindera.
Advertisement
Menangkap dari dalam dengan indera-indera batim yang
terdiri atas lima indera berikut:
Indera bersama (al-hiss al-musytarak) yaitu menerima
segala apa yang di tangkap oleh indera luar.
Indera (al-khayyal) yang menyimpan segala yang di terima
oleh indera bersama.
Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang di
simpan dalam khayal.
Indera estimasi (wahmiyah) yang dapat menangkap hal-hal
yang abstrak yang terlepas dari materinya seperti keharusan lari bagi kambing
ketika melihat serigala
Indera pemelihara (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal yang
abstrak yang diterima oleh indera estimasi
Dengan demikian, jiwa hewan lebih tinggi fungsinya
daripada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan sekedar makan, tumbuh, dan berkembang biak
tetapi telah dapat bekerja dan bertindak serta telah merasakan sakit dan senang
seperti manusia.
Jiwa manusia
Jiwa manusia yang biasa disebut al-nafs al-nâthiiqat
mempunyai dua daya; praktik (al-‘âmilaat) dan teoritis (al-‘âlimat). Daya praktis
dalam hubungannya dengan jasad, sedangkan daya teoritis dalam hubungannya
dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai empat tingkatan
berikut;
Akal materiil (al-‘aql al-hayûlâny) yang semata-mata
mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
Akal bakat (al-‘aql
bi al-malakat) yang telah dapat
berpikir tentang hal-hal abstrak.
Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l) yang telah dapat
berpikir tentang hal-hal nyata.
Akal perolehan (al-‘aql al-mustafaat) yaitu akal yang
telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya. Akal ini
akal tertinggi dan terkuat dayanya. Akal yang seperti inilah yang dapat
berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (akal
kesepuluh). Menurut penjelasan Ibn Sina akal aktif itu adalah jibril.
Ia menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa
mana pada ketiga jiwa tersebut yang berpengaruh pada dirinya, jika jiwa
binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu akan
dekat menyerupai sifat-sifat binatang dan dan tumbuh-tumbuhan. Sebaliknya, jika
jiwa manusia yang dominan berpengaruh, maka orang itu dekat menyerupai
sifat-sifat malaikat dan dekat pada kesempurnaan. Jiwa manusia berlainan dengan
jiwa binatang dan tumbuh-tumbuhan, ia bersifat kekal. Jika jiwa manusia telah
mempunyai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia memperoleh
kesempurnaan abadi di akhirat. Sebaliknya, jika ia berpisah dengan badan dalam
kondisi tidak sempurna, akibat terpengaruh oleh godaan hawa nafsu, maka ia akan
sengsara selama-lamanya di akhirat.[20]
Metafisika, membicarakan tentang hal-hal berikut:
Wujud jiwa
Dalam membuktikan adanya wujud jiwa, Ibn Sina
mengemukakan empat dalil sebagai berikut:
Dalil alam kejiwaan
Dalil ini berdasarkan pada fenomena gerak dan
pengetahuan, gerak terbagi menjadi dua jenis:
Gerak paksaan, yaitu gerak yang timbul pada suatu benda
disebabkan adanya dorongan dari luar.
Gerak tidak paksaan, yaitu gerak yang terjadi baik yang
sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerak yang sesuai dengan hukum
alam seperti manusia berjalan dan burung terbang. Padahal menurut berat
badannya manusia mesti diam, sedangkan burung seharusnya jatuh ke bumi. Hal ini
dapat terjadi karena adanya penggerak khusus yang berbeda dengan unsur jisim.
Penggerak ini disebut jiwa.
Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
Dalil ini oleh Ibn Sina didasarkan pada hakikat manusia.
Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang
dimaksud hakikatnya adalah jiwanya bukan jisimnya. Ketika anda berkata “saya
akan keluar” atau “saya akan tidur” maka ketika itu yang dimaksud bukanlah
gerak kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.[21]
Dalil kontinuitas (al-istimrar)
Dalil ini didasarkan pada perbanding jiwa dan jasad.
Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita
pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun yang lewat karena
telah mengalami perubahan, seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula halnya
dengan bagian jasad yang lain, selalu mengalami perbahan. Sementara itu, jiwa
bersifat kontinu (istimrar), tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa
yang kita pakai sekarang adalah jiwa sejak lahir juga dan akan berlangsung
selama umur tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan
jasad.
Dalil manusia terbang atau melayang di udara
Diandaikan ada seseorang tercipta sekali jadi dan
mempunyai wujud yang sempurna. Kemudian diletakkan di udara dengan mata
tertutup. Ia tidak melihat apapun. Anggota jasadnya dipisah-pisahkan sehingga
ia tidak merasakan apa-apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa
dirinya ada. Di saat itu ia menghayalkan adanya tangan, kaki, dan organ jasad
lainnya, tetapi organ jasad tersebut ia khayalkan bukan dari bagian dirinya.
Dengan demikian, berarti penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indera
dan jasmaninya, melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni
jiwa.[22]
Hakikat jiwa
Definisi jiwa yang dikemukakan Aristoteles yang berbunyi “kesempurnaan
awal bagi jasad alami yang organis” ternyata tidak memuaskan Ibn Sina.
Pasalnya, definisi tersebut belum memberikan gambaran tentang hakikat jiwa yang
membedakannya dari jasad. Menurut Aristoteles, manusia sebagaimana layaknya
benda alam lain terdiri dari dua unsur: mâdat (materi) dan shûrat (form).
Materi adalah jasad manusia dan form dalah jiwa manusia. Form inilah yang dimaksud Aristoteles dengan
kesempurnaan awal bagi jasad. Implikasi hancurnya materi atau jasad akan
membawa hancurnya form atau jiwa.
Justru itulah, untuk membedakan hakikat jiwa dari jasad,
Ibn Sina mendefinisikan jiwa dengan rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa
jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaiman
jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak
membawa pada hancurnya jiwa (roh). Pendapat ini lebih dekat pada Plato yang
mengatakan jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri (al-nafs jauhar qâ’im bi
zâtih).
Untuk mendukung filsafatnya Ibn Sina mengemukakan
beberapa argument berikut:
Jiwa dapat mengetahui objek pemikiran (ma’qûlât) dan ini
tidak dapat dilakukan oleh jasad. Persoalannya bentuk-bentuk yang merupakan
objek pemikiran hanya terdapat dalam akal dan tidak mempunyai tempat.
Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstrak (kulliy) dan
juga zatnya tanpa alat. Sementara itu indra dan khanyal hanya dapat mengetahui
yang konkret (juz’iy) dengan alat. Jadi, jiwa memiliki hakikat yang berbeda
dengan hakikat indra dan khayal.
Pemikiran Ibnu Sina
Jasad atau organnya jika dilakukan kerja berat atau
berulang-ulang dapat menjadikan letih, bahkan dapat menjadi rusak, sebaliknya
jiwa jika dipergunakan terus menerus berpikir tentang masalah besar tidak dapat
membuat lemah atau rusak.
Jasad dan perangkatnya akan mengalami kelemahan pada
waktu usia tua, misalnya pada umur 40 tahun. Sealiknya, jiwa atau daya jiwa
akan semakin kuat, kecuali jika ia sakit. Karenanya, jiwa bukan bagian dari
jasad dan keduanya merupakan dua substansi yang berbeda.
Hubungan jiwa dengan jasad
Dalam hal ini ia lebih cenderung sependapat dengan Plato
bahwa hubungan keduanya bersifat accident, binasanya jasad tidak membawa binasa
kepada jiwa.
Menurut Ibn Sina, selain erat hubungan antara jiwa dan
jasad, keduanya juga sering mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah
tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan
kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa akan terjadinya jasad yang akan
ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad,
atau adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa.[23]
Kekekalan jiwa
Seperti yang dipaparkan sebelumnya, jiwa manusia
diciptakan setiap kali jasad yang akan ditempatinya telah diadakan. Pendapat
ini sekaligus konsep Plato yang berkesimpulan bahwa jiwa sudah ada di alam idea
sebelum jasad yang akan ditempati ada. Jika pendapat Plato ini diterima,
seperti dikemukakan di atas, akan terjadinya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu
tubuh ditempati beberapa jiwa, sementara itu, diakhirat terjadi pembalasan
secara kolektif.
Ibn Sina kelihatannya lebih cenderung berkesimpulan
sesuai dengan apa yang disinyalkan al-qur’an. Menurutnya, jiwa manusia berbeda
dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan
kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan (bahagia dan
celaka) di akhirat. Akan tetapi, kekalnya dikekalkan Allah (al-khulûd). Jadi,
jiwa adalah baharu (al-hudûs) karena diciptakan (punya akal) dan kekal (tidak
punya akhir).
Dalam menerapkan kekalnya jiwa, Ibn Sina mengemukakan
tiga dalil berikut:
Dalil al-infishâl, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad
bersifat aksiden, masing-masing unsur mempunyai substansi tersendiri, yang
berbeda antara satu dan lainnya. Karenanya, jiwa kekal walaupun jasad binasa.
Sementara, jasad tidak dapat hidup tanpa adanya jiwa.
Dalil al-basâthat, yaitu jiwa adalah jauhar rohani yang
hidup selalu dan tidak mengenal mati. Pasalnya, hidup (hayât) merupakan sifat
bagi jiwa, dan mustahil bersifat dengan lawannya, yakni fana dan mati. Karena
jiwa dinamakan juga dengan jauhar bashît (hidup selalu).
Dalil al-musyâbahat, dalil ini bersifat metafisika. Jiwa
manusia, sesuai filsafat emanasi, bersumber dari akal fa’al (akal sepuluh) ini
merupakan esensi yang berpikir, azali, dan kekal, maka jiwa sebagai ma’lûl
(akibat)-nya akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab)-nya.
Kesimpulan
Pada dasarnya semua tokoh filsafat/pemikir islam sangat
memperhatikan akidah ketauhidan termasuk juga ibn Sina. Dari hasil filsafat
mereka bahwa tujuan dari berfilsafat mereka adalah untuk mengesakan tuhan.
Sehingga salah apabila dikatakan ibn Sina itu kafir seperti tudingan al-Gazali
dan ini sudah dijawab oleh ibn Rusyd.
Menurut Ibn Sina Allah adalah wâjib al-wujûd, Allah ada
tanpa diawali dari ketiadaan, Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama
(Allah) kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri,
tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Dalam hal
keNabian, Ibn Sina mengatakan bahwa Nabi adalah manusia biasa yang mempunyai
akal perolehan sehingga mampu berkomunikasi dengan akal aktif (Jibril)
sedangkan filosof tidak mampu kederajat itu. Nabi dapat menerima wahyu
sedangkah ilham diberikan kepada filosof.
Dalam filsafat emanasi, menurut Ibn Sina, Tuhan menciptakan segala
sesuatu dengan pancaran, ketika Allah wujud (bukan dari tiada) sebagai Akal
(‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya, maka mumancarlah
Akal Pertama, dari akal pertama memancarlah Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan
Langit Pertama dan seterusnya sampai akal kesepuluh menghasilkan bumi, roh,
materi pertama sebagai dasar bagi keempat unsur pokok: air, udara, api, dan
tanah. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima
pembalasan (bahagia dan celaka) di akhirat. Akan tetapi, kekalnya dikekalkan
Allah (al-khulûd). Jadi, jiwa adalah baharu (al-hudûs) karena diciptakan (punya
akal) dan kekal (tidak punya akhir).
Saran
Pembahasan tentang filsafat Ibn Sina pada makalah ini
penulis rasa belum tuntas dan perlu penjabaran lebih rinci, semua dikarenakan
lemahnya pemahaman penulis dan kurangnya referensi sehingga memungkinkan
kritikan dan input-input dari teman-teman peserta seminar demi kesempurnaan
makalah ini. Perlu penulis rekomendasikan kepada pemakalah yang lain yang
mungkin membahas masalah yang sama untuk dapat mengambil informasi dan bahan
masukan dari makalah ini sehingga tidak mengurangi bobot nilai dari makalah
yang pernah penulis tuangkan dalam makalah ini. Kepada semua pihak yang telah
berpartisipasi dalam seminar lebih khusus kepada yang terhormat dosen pemandu
penulis sampaikan terimakasih.
Catatan Kaki
[1] Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam
Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2007),
h. 17
[2] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam:
Dirasah Islamiyah II (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 101
[3] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (Cet. III;
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002) h. 155
[4] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Dunia Intelektual
Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam) (Cet. II; Surabaya: Risalah
Gusti, 2003), h. 260
[5] DR. Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat: (Cet.
1; Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005), h. 10
[6] Ensiklopedi Islam, PT. Lehtiar Baru Van Hoeve,
Jakarta, 1994, h. 167
[7] Drs. Sudarso, SH. Filsafat Islam (Cet. 1; Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 1997), h. 40
[8] Ibid, 140
[9] Ismail
Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Lok.cit, h. 11
[10] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam
(Filosof dan Filsafatnya) (Cet. 1; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h.
96
[11] Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya
(Jakarta: Syamil Qur’an, 2005), h. 382
[12] Sirajuddin Zar, Op Cit, h. 99
[13] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta:
Universitas Indonesia, 1983), h. 18-84
[14] Ensiklopedi Islam, Loc. cit,168
[15] Ibid, h. 100-104
[16] Ibid, h. 99
[17] Ibid, h. 102
[18] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op Cit, h. 457
[19] Ibid, h. 100
[20] Ensiklopedi Islam, Lok. cit, h. 168
[21] Sirajuddin, Op Cit, h. 107
[22] Ibid, h. 108
[23] Ibid, h. 110
Daftar Pustaka
Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya Jakarta:
Syamil Qur’an, 2005.
Ensiklopedi Islam, PT. Lehtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,
1994.
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam Ringkas, cet. III;
Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam Dunia Intelektual
Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam) cet. II; Surabaya: Risalah
Gusti, 2003.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam Jakarta:
Universitas Indonesia, 1983.
Sudarso. Filsafat Islam cet. 1; Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1997.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan
Ilmu Pengetahuan Islam cet. III; Jakarta: Kencana, 2007.
Asy-Syarafa, Ismail. Ensiklopedi Filsafat cet. 1; Jakarta
Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah
II cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya)
cet. 1; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Makalah Dipresentasikan dalam Forum Seminar Kelas Mata
Kuliah Sejarah Pemikiran Islam Semester 1 Tahun Akademik 2010-2011 Oleh: Nur
Khozin Judul Makalah Mengenal Biografi Ibnu Sina dan Pemikiranya tentang
Filsafat Ketuhanan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar