Jumat, 18 November 2016

PEMIKIRAN IBNU SINA

Pemikiran Ibn Sina tentang Filsafat
Filsafat Ketuhanan
Ibn Sina dalam membuktikan adanya Tuhan dengan dalil wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd mengesankan duplikat al-Farabi. Sepertinya tidak ada tambahan sama sekali. Akan tetap, dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga tingkatan di pandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut.
Wâjib al-wujûd, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.[10]
Lebih jauh Ibn Sina membagi wâjib al-wujûd kedalam wâjib al-wujûd bi dzâtihi dan wâjib al-wujûd bi ghairihi. Kategori yang pertama adalah yang wujudnya dengan sebab zatnya semata, mustahil jika diandaikan tidak ada. Kategori yang kedua adalah wujudnya yang terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar zatnya. Dalam hal ini Allah termasuk pada yang pertama (wâjib al-wujûd li dzâtihi lâ li sya’in akhar).
Mumkin al-wujûd, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.
Mumkin al-wujûd ini jika dilihat dari segi esensinya, tidak mesti ada karenanya ia disebut dengan mumkin al-wujûd bi dzatihi. Ia pun dapat pula di lihat dari sisi lainnya sehingga disebut mumkin al-wujûd bi dzâtihi dan mumkin al-wujûd bi ghairihi. Jenis mumkin mencakup semua yang ada, selain Allah.

Mumtani’ al-wujûd, esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping yang ada.

Ibn Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dengan dalil adanya wujud Pertama, yakni wâjib al-wujûd. Jagad raya ini mumkin al-wujûd yang memerlukan suatu sebab (‘illat) yang mengeluarkannya menjadi wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Meskipun makhluk itu bisa menjadi bukti wujud-Nya, namun pembuktian dengan dalil di atas, lebih kuat, lebih lengkap, dan sempurna. Kedua macam pembuktian tersebut telah digambarkan dalam al-qur’an dalam surat al-Fushshilat: 53 sebagai berikut:

Artinya: Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu.[11]

Ibn Sina dalam menetapkan adanya Allah mengemukakan dalil ontologi yang sebelumnya telah dikemukakan al-Farabi. Sementara itu, ahli kalam biasanya mengemukakan dalil kosmologi dengan berpijak pada konsep alam baharu. Namun, dalil yang disebut terakhir ini sekalipun tidak memuaskan para filosof muslim, tetapi menurut Ibn Sina sangat cocok bagi orang  awam.

Tentang sifat-sifat Allah, Ibn Sina menyucikan Allah dari sifat segala sifat yang dikaitkan dengan esensi-Nya karena Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah dipisahkan dari zat-Nya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas (ta’addud al-qudamâ).[12]

Filsafat Wahyu dan Nabi

Dalam filsafatnya tentang wahyu dan Nabi, Ibn Sina menjelaskan bahwa akal manusia yang telah mencapai derajat akal perolehan dapat mengadakan hubungan dengan Jibril.

Menurut Ibn Sina Nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut akal kesepuluh atau akal aktif. Perbedaannya hanya terletak pada cara memperolehnya, bagi Nabi hubungan dengan malaikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangkan filosof melalui akal mustafad. Nabi menerima akal materiil yang dayanya lebih kuat dari pada akal mustafad sebagai anugerah Tuhan kepada orang pilihan-Nya. Sementara filosof memperoleh akal mustafad yang dayanya jauh lebih rendah daripada akal materiil melalui latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh Nabi disebut wahyu, sedangkan pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi diantara keduanya tidaklah bertentangan.[13]

Komunikasi itu bisa terjadi karena akal perolehan telah begitu terlatih dan begitu kuat daya tangkapnya sehingga sanggup menangkap hal-hal yang abstrak murni, akan tetapi komunikasi antara Nabi dan Tuhan dilakukan melalui akal dalam derajat materiil. Seorang Nabi menurut pendapatnya, dianugerahi Tuhan dengan akal materil yang meskipun lebih rendah derajatnya dari akal perolehan namun mempunyai daya tangkap yang luar biasa sehingga tanpa latihan ia dapat mengadakan komunikasi langsung dengan Jibril.[14]

Filsafat Emanasi

Filsafat emanasi ini bukan hasil dari renungan Ibn Sina tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari Yang Esa. Kemudian filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa “dari yang satu hanya satu yang melimpah”. Ini diislamkan oleh Ibn Sina bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam al-Qur’an tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibn Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuan berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan yang Esa menurut Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pancaran.[15]

Adapun proses terjadinya pancaran itu tersebut adalah ketika Allah Wujud (bukan dari tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah akal kedua, jiwa pertama dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama, yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api, dan tanah.[16]

Bagi Ibn Sina, akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika di tinjau dari hakikat darinya. Dengan demikian, Ibn Sina membagi objek-objek pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal (wajib al-wujud li ghairihi), sebagai pancaran dari Allah dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud).
Akal-akal dan planet-planet dalam emanai dipancarkan (diciptakan) Allah secara hirarki keadaan ini bisa terjadi karena ta’aqqul Allah tentang zatnya sebagai sumber energi yang maha dahsyat. Ta’aqqul Allah tentang zatnya adalah ilmu tentang dirinya dan ilmu adalah daya (al-qudrat) yang menciptakan segalanya. Agar sesuatu itu diciptakan, cukup sesuatu itu diketahui oleh Allah. Dari hasil ta’aqul Allah terhadap zatnya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan lainnya memadat menjadi planet-planet.[17]

Emanasi Ibn Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Bagi Ibn Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-akal adalah malaikat. Akal pertama adalah malaikat dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi dan segala isinya.

Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini qadim karena diciptakan oleh Allah sejak qidam dan azali. Akan tetapi, tentu saja Ibn Sina membedakan antara qadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud. Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam qadim dari zaman Adapun dari segi esensi sebagai hasil ciptaan Allah secara pancaran alam ini baru (huduus zaaty). Sementara Allah adalah taqaddum zaaty. Ia sebab semua yang ada, Ia pencipta alam.

Filsafat Jiwa

Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibn Sina terletak pada filsafat jiwa. Kata jiwa di dalam al-Qur’an dan hadits diistilahkan dengan al-nafs atau al-ruh sebagaimana terekam dalam QS. Shad: 71-72.

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ .فَإِذَا سَوَّ يْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوْحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ.

Terjemahannya: (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah".  Maka apabila Telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; Maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya".(QS. Shaad 38: 71-72)[18]
Jiwa manusia sebagaimana jiwa-jiwa yang lain dan segala yang terdapat di bawah rembulan memancar dari akal sepuluh. Secara garis besar pembahasan Ibn Sina tentang jiwa terbagi pada dua bagian berikut.[19]

Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia:

Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya; makan, tumbuh, dan berkembang. Jadi, jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh, dan berkembang.

Jiwa hewan mempunyai dua daya; bergerak dan menangkap. Daya terakhir ini mempunyai dua bagian:

Menangkap dari luar dengan pancaindera.

 
Advertisement
Menangkap dari dalam dengan indera-indera batim yang terdiri atas lima indera berikut:
Indera bersama (al-hiss al-musytarak) yaitu menerima segala apa yang di tangkap oleh indera luar.
Indera (al-khayyal) yang menyimpan segala yang di terima oleh indera bersama.
Imajinasi (al-mutakhayyilat) yang menyusun apa yang di simpan dalam khayal.
Indera estimasi (wahmiyah) yang dapat menangkap hal-hal yang abstrak yang terlepas dari materinya seperti keharusan lari bagi kambing ketika melihat serigala
Indera pemelihara (rekoleksi) yang menyimpan hal-hal yang abstrak yang diterima oleh indera estimasi
Dengan demikian, jiwa hewan lebih tinggi fungsinya daripada jiwa tumbuh-tumbuhan, bukan sekedar makan, tumbuh, dan berkembang biak tetapi telah dapat bekerja dan bertindak serta telah merasakan sakit dan senang seperti manusia.

Jiwa manusia

Jiwa manusia yang biasa disebut al-nafs al-nâthiiqat mempunyai dua daya; praktik (al-‘âmilaat) dan teoritis (al-‘âlimat). Daya praktis dalam hubungannya dengan jasad, sedangkan daya teoritis dalam hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. Daya teoritis ini mempunyai empat tingkatan berikut;
Akal materiil (al-‘aql al-hayûlâny) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berpikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
Akal bakat (al-‘aql  bi al-malakat)  yang telah dapat berpikir tentang hal-hal abstrak.
Akal aktual (al-‘aql bi al-fi’l) yang telah dapat berpikir tentang hal-hal nyata.
Akal perolehan (al-‘aql al-mustafaat) yaitu akal yang telah sanggup berpikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya. Akal ini akal tertinggi dan terkuat dayanya. Akal yang seperti inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari akal aktif (akal kesepuluh). Menurut penjelasan Ibn Sina akal aktif itu adalah jibril.
Ia menjelaskan bahwa sifat seseorang bergantung pada jiwa mana pada ketiga jiwa tersebut yang berpengaruh pada dirinya, jika jiwa binatang dan tumbuh-tumbuhan yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu akan dekat menyerupai sifat-sifat binatang dan dan tumbuh-tumbuhan. Sebaliknya, jika jiwa manusia yang dominan berpengaruh, maka orang itu dekat menyerupai sifat-sifat malaikat dan dekat pada kesempurnaan. Jiwa manusia berlainan dengan jiwa binatang dan tumbuh-tumbuhan, ia bersifat kekal. Jika jiwa manusia telah mempunyai kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan, maka ia memperoleh kesempurnaan abadi di akhirat. Sebaliknya, jika ia berpisah dengan badan dalam kondisi tidak sempurna, akibat terpengaruh oleh godaan hawa nafsu, maka ia akan sengsara selama-lamanya di akhirat.[20]

Metafisika, membicarakan tentang hal-hal berikut:

Wujud jiwa

Dalam membuktikan adanya wujud jiwa, Ibn Sina mengemukakan empat dalil sebagai berikut:
Dalil alam kejiwaan
Dalil ini berdasarkan pada fenomena gerak dan pengetahuan, gerak terbagi menjadi dua jenis:
Gerak paksaan, yaitu gerak yang timbul pada suatu benda disebabkan adanya dorongan dari luar.
Gerak tidak paksaan, yaitu gerak yang terjadi baik yang sesuai dengan hukum alam maupun yang berlawanan. Gerak yang sesuai dengan hukum alam seperti manusia berjalan dan burung terbang. Padahal menurut berat badannya manusia mesti diam, sedangkan burung seharusnya jatuh ke bumi. Hal ini dapat terjadi karena adanya penggerak khusus yang berbeda dengan unsur jisim. Penggerak ini disebut jiwa.


Konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis


Dalil ini oleh Ibn Sina didasarkan pada hakikat manusia. Jika seseorang membicarakan pribadinya atau mengajak orang lain berbicara, yang dimaksud hakikatnya adalah jiwanya bukan jisimnya. Ketika anda berkata “saya akan keluar” atau “saya akan tidur” maka ketika itu yang dimaksud bukanlah gerak kaki atau memejamkan mata, tetapi hakikatnya adalah jiwa.[21]

Dalil kontinuitas (al-istimrar)

Dalil ini didasarkan pada perbanding jiwa dan jasad. Jasad manusia senantiasa mengalami perubahan dan pergantian. Kulit yang kita pakai sekarang ini tidak sama dengan kulit sepuluh tahun yang lewat karena telah mengalami perubahan, seperti mengerut dan berkurang. Demikian pula halnya dengan bagian jasad yang lain, selalu mengalami perbahan. Sementara itu, jiwa bersifat kontinu (istimrar), tidak mengalami perubahan dan pergantian. Jiwa yang kita pakai sekarang adalah jiwa sejak lahir juga dan akan berlangsung selama umur tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu, jiwa berbeda dengan jasad.

Dalil manusia terbang atau melayang di udara

Diandaikan ada seseorang tercipta sekali jadi dan mempunyai wujud yang sempurna. Kemudian diletakkan di udara dengan mata tertutup. Ia tidak melihat apapun. Anggota jasadnya dipisah-pisahkan sehingga ia tidak merasakan apa-apa. Dalam kondisi demikian, ia tetap yakin bahwa dirinya ada. Di saat itu ia menghayalkan adanya tangan, kaki, dan organ jasad lainnya, tetapi organ jasad tersebut ia khayalkan bukan dari bagian dirinya. Dengan demikian, berarti penetapan tentang wujud dirinya bukan hal dari indera dan jasmaninya, melainkan dari sumber lain yang berbeda dengan jasad, yakni jiwa.[22]

Hakikat jiwa

Definisi jiwa yang dikemukakan Aristoteles yang berbunyi “kesempurnaan awal bagi jasad alami yang organis” ternyata tidak memuaskan Ibn Sina. Pasalnya, definisi tersebut belum memberikan gambaran tentang hakikat jiwa yang membedakannya dari jasad. Menurut Aristoteles, manusia sebagaimana layaknya benda alam lain terdiri dari dua unsur: mâdat (materi) dan shûrat (form). Materi adalah jasad manusia dan form dalah jiwa manusia.  Form inilah yang dimaksud Aristoteles dengan kesempurnaan awal bagi jasad. Implikasi hancurnya materi atau jasad akan membawa hancurnya form atau jiwa.

Justru itulah, untuk membedakan hakikat jiwa dari jasad, Ibn Sina mendefinisikan jiwa dengan rohani. Definisi ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari materi-materi sebagaiman jasad. Kesatuan antara keduanya bersifat accident, hancurnya jasad tidak membawa pada hancurnya jiwa (roh). Pendapat ini lebih dekat pada Plato yang mengatakan jiwa adalah substansi yang berdiri sendiri (al-nafs jauhar qâ’im bi zâtih).

Untuk mendukung filsafatnya Ibn Sina mengemukakan beberapa argument berikut:

Jiwa dapat mengetahui objek pemikiran (ma’qûlât) dan ini tidak dapat dilakukan oleh jasad. Persoalannya bentuk-bentuk yang merupakan objek pemikiran hanya terdapat dalam akal dan tidak mempunyai tempat.

Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstrak (kulliy) dan juga zatnya tanpa alat. Sementara itu indra dan khanyal hanya dapat mengetahui yang konkret (juz’iy) dengan alat. Jadi, jiwa memiliki hakikat yang berbeda dengan hakikat indra dan khayal.

Pemikiran Ibnu Sina

Jasad atau organnya jika dilakukan kerja berat atau berulang-ulang dapat menjadikan letih, bahkan dapat menjadi rusak, sebaliknya jiwa jika dipergunakan terus menerus berpikir tentang masalah besar tidak dapat membuat lemah atau rusak.

Jasad dan perangkatnya akan mengalami kelemahan pada waktu usia tua, misalnya pada umur 40 tahun. Sealiknya, jiwa atau daya jiwa akan semakin kuat, kecuali jika ia sakit. Karenanya, jiwa bukan bagian dari jasad dan keduanya merupakan dua substansi yang berbeda.

Hubungan jiwa dengan jasad

Dalam hal ini ia lebih cenderung sependapat dengan Plato bahwa hubungan keduanya bersifat accident, binasanya jasad tidak membawa binasa kepada jiwa.

Menurut Ibn Sina, selain erat hubungan antara jiwa dan jasad, keduanya juga sering mempengaruhi atau saling membantu. Jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain, jiwa tidak akan diciptakan tanpa akan terjadinya jasad yang akan ditempatinya. Jika tidak demikian, tentu akan terjadi adanya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu jasad ditempati beberapa jiwa.[23]

Kekekalan jiwa

Seperti yang dipaparkan sebelumnya, jiwa manusia diciptakan setiap kali jasad yang akan ditempatinya telah diadakan. Pendapat ini sekaligus konsep Plato yang berkesimpulan bahwa jiwa sudah ada di alam idea sebelum jasad yang akan ditempati ada. Jika pendapat Plato ini diterima, seperti dikemukakan di atas, akan terjadinya jiwa tanpa jasad, atau adanya satu tubuh ditempati beberapa jiwa, sementara itu, diakhirat terjadi pembalasan secara kolektif.

Ibn Sina kelihatannya lebih cenderung berkesimpulan sesuai dengan apa yang disinyalkan al-qur’an. Menurutnya, jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan (bahagia dan celaka) di akhirat. Akan tetapi, kekalnya dikekalkan Allah (al-khulûd). Jadi, jiwa adalah baharu (al-hudûs) karena diciptakan (punya akal) dan kekal (tidak punya akhir).

Dalam menerapkan kekalnya jiwa, Ibn Sina mengemukakan tiga dalil berikut:

Dalil al-infishâl, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat aksiden, masing-masing unsur mempunyai substansi tersendiri, yang berbeda antara satu dan lainnya. Karenanya, jiwa kekal walaupun jasad binasa. Sementara, jasad tidak dapat hidup tanpa adanya jiwa.

Dalil al-basâthat, yaitu jiwa adalah jauhar rohani yang hidup selalu dan tidak mengenal mati. Pasalnya, hidup (hayât) merupakan sifat bagi jiwa, dan mustahil bersifat dengan lawannya, yakni fana dan mati. Karena jiwa dinamakan juga dengan jauhar bashît (hidup selalu).

Dalil al-musyâbahat, dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia, sesuai filsafat emanasi, bersumber dari akal fa’al (akal sepuluh) ini merupakan esensi yang berpikir, azali, dan kekal, maka jiwa sebagai ma’lûl (akibat)-nya akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab)-nya.

Kesimpulan

Pada dasarnya semua tokoh filsafat/pemikir islam sangat memperhatikan akidah ketauhidan termasuk juga ibn Sina. Dari hasil filsafat mereka bahwa tujuan dari berfilsafat mereka adalah untuk mengesakan tuhan. Sehingga salah apabila dikatakan ibn Sina itu kafir seperti tudingan al-Gazali dan ini sudah dijawab oleh ibn Rusyd.

Menurut Ibn Sina Allah adalah wâjib al-wujûd, Allah ada tanpa diawali dari ketiadaan, Dengan demikian, dalam menetapkan Yang Pertama (Allah) kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Dalam hal keNabian, Ibn Sina mengatakan bahwa Nabi adalah manusia biasa yang mempunyai akal perolehan sehingga mampu berkomunikasi dengan akal aktif (Jibril) sedangkan filosof tidak mampu kederajat itu. Nabi dapat menerima wahyu sedangkah ilham diberikan kepada filosof.  Dalam filsafat emanasi, menurut Ibn Sina, Tuhan menciptakan segala sesuatu dengan pancaran, ketika Allah wujud (bukan dari tiada) sebagai Akal (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya, maka mumancarlah Akal Pertama, dari akal pertama memancarlah Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan Langit Pertama dan seterusnya sampai akal kesepuluh menghasilkan bumi, roh, materi pertama sebagai dasar bagi keempat unsur pokok: air, udara, api, dan tanah. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk individual, yang akan menerima pembalasan (bahagia dan celaka) di akhirat. Akan tetapi, kekalnya dikekalkan Allah (al-khulûd). Jadi, jiwa adalah baharu (al-hudûs) karena diciptakan (punya akal) dan kekal (tidak punya akhir).

Saran

Pembahasan tentang filsafat Ibn Sina pada makalah ini penulis rasa belum tuntas dan perlu penjabaran lebih rinci, semua dikarenakan lemahnya pemahaman penulis dan kurangnya referensi sehingga memungkinkan kritikan dan input-input dari teman-teman peserta seminar demi kesempurnaan makalah ini. Perlu penulis rekomendasikan kepada pemakalah yang lain yang mungkin membahas masalah yang sama untuk dapat mengambil informasi dan bahan masukan dari makalah ini sehingga tidak mengurangi bobot nilai dari makalah yang pernah penulis tuangkan dalam makalah ini. Kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam seminar lebih khusus kepada yang terhormat dosen pemandu penulis sampaikan terimakasih.
Catatan Kaki

[1] Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Cet. III; Jakarta: Kencana, 2007), h. 17
[2] Dr. Badri Yatim, M.A, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 101
[3] Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas (Cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002) h. 155
[4] Mehdi Nakosteen, Kontribusi Islam Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam) (Cet. II; Surabaya: Risalah Gusti, 2003), h. 260
[5] DR. Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat: (Cet. 1; Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005), h. 10
[6] Ensiklopedi Islam, PT. Lehtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994, h. 167
[7] Drs. Sudarso, SH. Filsafat Islam (Cet. 1; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), h. 40
[8] Ibid, 140
[9]  Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, Lok.cit, h. 11
[10] Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) (Cet. 1; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), h. 96
[11] Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Syamil Qur’an, 2005), h. 382
[12] Sirajuddin Zar, Op Cit, h. 99
[13] Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam (Jakarta: Universitas Indonesia, 1983), h. 18-84
[14] Ensiklopedi Islam, Loc. cit,168
[15] Ibid, h. 100-104
[16] Ibid, h. 99
[17] Ibid, h. 102
[18] Al-Qur’an dan Terjemahannya, Op Cit, h. 457
[19] Ibid, h. 100
[20] Ensiklopedi Islam, Lok. cit, h. 168
[21] Sirajuddin, Op Cit, h. 107
[22] Ibid, h. 108
[23] Ibid, h. 110

Daftar Pustaka
Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya Jakarta: Syamil Qur’an, 2005.
Ensiklopedi Islam, PT. Lehtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1994.
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam Ringkas, cet. III; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002.
Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam Dunia Intelektual Barat (Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam) cet. II; Surabaya: Risalah Gusti, 2003.
Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam Jakarta: Universitas Indonesia, 1983.
Sudarso. Filsafat Islam cet. 1; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997.
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam cet. III; Jakarta: Kencana, 2007.
Asy-Syarafa, Ismail. Ensiklopedi Filsafat cet. 1; Jakarta Timur: Khalifa Pustaka Al-Kautsar Grup, 2005.
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II cet. I; Jakarta: Rajawali Pers, 2008.
Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam (Filosof dan Filsafatnya) cet. 1; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.


Makalah Dipresentasikan dalam Forum Seminar Kelas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Islam Semester 1 Tahun Akademik 2010-2011 Oleh: Nur Khozin Judul Makalah Mengenal Biografi Ibnu Sina dan Pemikiranya tentang Filsafat Ketuhanan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar